Kiroyan Partners - Anang Rizkani NoorRencana perpanjangan kontrak Freeport memicu polemik, bahkan para menteri di dalam kabinet juga saling berbeda pendapat. Silang pendapat tersebut ditutup dengan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa nasib perpanjangan akan ditentukan dua tahun sebelum masa kontrak berakhir, yaitu 2019.

Industri berbasis sumber daya alam seperti tambang selalu menarik perhatian, karena sifatnya yang mengambil dari perut bumi milik seluruh warga, yang dititipkan pengelolaannya kepada pemerintah, namun ada rasa ketidakadilan ketika melihat hasil bumi itu diusahakan hanya oleh sekelompok orang, bahkan sebagian dari mereka adalah orang asing.

Mencari tambang di Indonesia 
Saat membahas Freeport, maka akan tergambar betapa kayanya negeri ini akan bahan tambang. Banyak awam yang kemudian berasumsi bahwa menemukan tambang tentu tidaklah sulit. Proses penemuan tambang Freeport bisa menjadi jawaban atas asumsi itu. Indikasi adanya potensi tambang di Papua bagian tengah diketahui pada 1936. Namun ternyata informasi mengenai besarnya endapan – yang kemudian disebut Ertsberg – baru 24 tahun kemudian ditemukan oleh ekspedisi berikutnya. Cadangan yang lain, Grasberg, baru ditemukan 28 tahun sesudah Erstberg.

Maka menarik untuk mengetahui seberapa mudah sebenarnya untuk menemukan tambang yang berskala dunia. Stephen B. Bartrop dan Pietro Guj dalam Estimating Historical Probablities of Discovery in Mineral Exploration (2009) mengatakan bahwa berdasarkan data yang dikumpulkan mulai 1985-2003 ternyata kans untuk menemukan tambang berskala dunia di daerah yang sama sekali baru yang belum pernah dieksplorasi (greenfield) ternyata kecil, yaitu 0,07% atau kira-kira 1 penemuan dalam 1.000 kali usaha.

Kegiatan di lapangan pun menunjukkan bahwa untuk menemukan sebuah tambang bukan hanya dipengaruhi oleh faktor teknis, namun kebijakan di bidang pertambangan menentukan. Fraser Institute dari Kanada secara reguler memotret kedua hal tersebut melalui survei di 122 negara. Pada 2014 hasilnya adalah Indonesia menempati ranking 35 untuk potensinya. Namun tidak demikian pada aspek kebijakan. Beberapa aspek kebijakan kita ternyata peringkatnya di bawah 100, seperti konsistensi aturan administrasi, trade barriers, sosial ekonomi dan pembangunan masyarakat, pertanahan, dan bahkan untuk sistem hukum menempati urutan paling buncit.

Kontrak Karya 
Rejim Orde Baru yang baru menggeliat segera menangkap peluang investasi di bidang tambang yang tidak mudah ditemukan tadi. Dibuatkanlah payung hukum berbentuk Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Pertambangan 1967 sebagai aturannya. Freeport pada 1971 menandatangani Kontrak Karyanya yang pertama dengan Pemerintah Republik Indonesia yang berlaku 30 tahun. Kontrak Karya memakai azas Lex Specialis dan ketentuan nailed down. Lex specialis, artinya mengatur hal-hal secara lebih rinci dibandingkan dengan peraturan umum, sedangkan nailed down yaitu isinya akan berlaku hingga akhir kontrak meskipun aturan umumnya berubah. Bisa dimengerti, ketentuan itu dibutuhkan untuk kepastian investasi di negara yang belum lama merdeka.

Setelah hampir 50 tahun beroperasi, Indonesia makin demokratis, masyarakat semakin terbuka untuk mengungkapkan keinginan agar negara dan masyarakat mendapat hasil yang lebih besar dari pertambangan. Maka dipertanyakanlah kembali kontrak yang sudah ditandatangani, mumpung Freeport ingin memperpanjang kontraknya. Renegosiasi kontrak kemudian dilakukan, untuk membahas kenaikan royalti, divestasi kepada pihak Indonesia, peningkatan kandungan lokal, serta pemrosesan dalam negeri.

Royalti dan Divestasi 
Isu yang paling banyak disorot adalah kenaikan royalti dan divestasi, meskipun yang lain juga tidak kalah penting. Banyak disuarakan, bahwa royalti Freeport terlalu rendah, harusnya dinaikkan menjadi 6-7% seperti yang berlaku di negara lain. Muncul pertanyaan, sebenarnya berapa nilai royalti yang pantas. Salah satu cara melihat kepantasan adalah membandingkan praktek pengenaan royalti di berbagai negara.

Kita ambil salah satu contoh, royalti tembaga. Merujuk kepada studi Price Waterhouse Coopers 2012, royalti tembaga di berbagai negara bervariasi. Di Argentina 3%, Australia 2,7-3.5%, Brazil 2%, India 4,2%. Chile mengenakan royalti dengan range lebar 0-14%. Namun ada pula negara seperti Mexico yang tidak mengenakan royalti.
Di Indonesia, dalam peraturan yang berlaku sekarang royalti tembaga 4% dan emas 3,75% Bisa dilihat bahwa untuk nilai royalti kita cukup bagus dibandingkan di negara lain. Dalam renegosiasi kontrak yang dilakukan intensif, Pemerintah meminta Freeport menyepakati royaltinya dinaikkan agar sesuai dengan peraturan yang sekarang yang lebih tinggi dari angka 1% yang tertera di kontrak.

Selain royalti, cara lain untuk menaikkan pendapatan negara adalah meningkatkan kepemilikan saham. Bangsa ini tentu senang apabila Freeport dan semua pertambangan asing di sini menjadi milik Indonesia. Yang sangat bersemangat mengatakan, sekarang saja diambil alih, tidak perlu menunggu habis kontrak. Ada juga yang berpendapat, persulit saja syarat perpanjangannya sehingga mereka tidak bisa memenuhi, lalu ambil alih saat masa kontrak habis. Yang moderat mengusulkan untuk mengambil alih secara bertahap sesuai aturan.

Masalahnya, kontrak Freeport tidak mengharuskan mereka melakukan divestasi atau menjual saham kepada pihak Indonesia. Sedangkan Peraturan Pemerintah yang berlaku sekarang mengatakan bahwa divestasi sudah harus mulai setelah tahun ke lima beroperasi. Sebagai jalan tengahnya, dalam renegosiasi Pemerintah meminta Freeport diminta menyetujui segera divestasi hingga mencapai 30%, dari yang 9,36% yang sekarang dimiliki Pemerintah.

Pertanyaannya yang harus dijawab kemudian adalah, bagaimana cara mengeksekusi agar 30% saham dan seterusnya hingga 51% tersebut milik pihak Indonesia dengan hasil yang maksimal. Mari kita lihat beberapa contoh divestasi tambang besar yang sudah dilakukan. Tambang batu bara Kaltim Prima Coal yang dulunya milik Rio Tinto dan BP, pada awal 2000-an didivestasikan kepada Bumi Resources 100%, sedangkan Kideco sebagian menjadi milik Indika Energy. Tambang emas Newmont Nusa Tenggara (NNT) mendivestasikan sebagian sahamnya kepada konsorsium PT Multi Capital yang berafiliasi dengan Bumi Resources dan PT Daerah Maju Bersaing, BUMD milik Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Sumba Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumba. Divestasi NNT ini sempat masuk ke Mahkamah Konstitusi ketika Pemerintah Pusat juga menginginkan membeli saham.

Saham Indonesia di Freeport sempat beralih beberapa kali, dari kelompok Bakrie, kemudian Bob Hasan, dan kembali ke Freeport. Saat ini yang masih tersisa adalah milik Pemerintah sebesar 9,36%. Melihat cerita divestasi, bungkusan cerita nasionalisme yang biasanya gegap gempita di awal ternyata tidak berakhir manis di belakang. Pemilik Indonesia di tambang-tambang besar ternyata kelompok itu-itu saja, sehingga peningkatan pendapatan dan kontrol atas akses pertambangan pun dipertanyakan.

Sebagai negara yang menghormati tata krama internasional, tampaknya mengambil alih Freeport dengan cara yang moderat yang sesuai aturan dan tahap demi tahap menjadi pilihan yang bijak. Kali ini sebaiknya Pemerintah mengambil sikap yang lebih aktif daripada membiarkan saham ini jatuh kepada swasta yang belum memberikan dampak signifikan kepada Pemerintah. Pembelian bisa dilakukan melalui BUMN atau Pusat Investasi Pemerintah (PIP), meskipun pilihan melalui BUMN agak berat mengingat Penyertaan Modal pemerintah (PMN) kepada BUMN saat ini belum disetujui DPR. Kemenangan Pemerintah di Mahkamah Konstitusi pada kasus divestasi NNT dapat menjadi yurisprudensi untuk tidak perlu melalui izin DPR yang bisa berbelit atau bahkan dipolitisasi sehingga berpotensi gagal.

Perlu pula dilakukan sebuah penelitian untuk mengetahui apakah divestasi di beberapa perusahaan tambang sudah menaikkan pendapatan yang maksimal bagi Pemerintah. Apapun jalan yang akan dipilih oleh pemerintah, yang tidak dapat ditawar adalah diperlukannya pemerintah yang amanah, pintar, dan konsisten. Syarat terakhir inilah yang akan menjaga agar manfaat tambang bagi negara dan masyarakat maksimal.

 

Anang Rizkani Noor
Tulisan dimuat ketika penulis adalah direktur dan principal consultant di Kiroyan Partners. Ini adalah pandangan pribadi.

Source: Majalah TAMBANG, November 2015/Th. X Edition, halaman 50-51.

share this insight

Share to Facebook Share to Linkedin

let's work together

Tell us about your project brief or just contact us
read other insights